SUMBAR, - Ratusan masyarakat Sikabau, Nagari Parit, Kecamatan Koto Balingka, Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar) unjuk rasa menuntut PT. Bakrie Pasaman Plantation (PT BPP) Air Balam menyerahkan sisa lahan plasma seluas 300 hektare.
Lahan seluas itu mereka klaim merupakan plasma masyarakat melalui Kelompok Tani Bukit Intan Sikabau.
Juru Bicara Masyarakat Sikabau, Muslim Hasugian mengungkapkan bahwa mereka sudah menunggu selama 20 tahun. Namun, kata Muslim, hak mereka berupa kebun plasma tidak juga diberikan oleh perusahaan PT BPP.
“Hak kami tidak diberikan dan dikuasai oleh pihak perusahaan PT BPP unit II Air Balam. Mulai hari ini kami tidak mau diam lagi, ” tegas Mulism kepada wartawan, Rabu (30/3/2022) sore.
Menurut dia, tuntuntan mereka ini sesuai dengan laporan mereka ke Polda Sumbar beberapa waktu yang lalu. Maka, kata dia, pada Rabu (30/3/2022), Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Sumbar didampingi jajaran Polda Sumbar dan Polres Pasaman Barat datang menentukan koordinat lahan.
Ia berharap dengan adanya penentuan titik koordinat ini maka akan jelas apakah lahan 300 hektare masuk ke dalam Hak Guna Usaha (HGU) PT BPP atau memang hak masyarakat atau Kelompok Tani Bukit Intan Sikabau.
“Sesuai bukti dan dokumen yang kami punya jelas lahan 300 hektare ini tidak masuk pada HGU perusahaan 5.350 hektare karena batas lahan itu jelas kanal atau parit, ” jelasnya.
Sementara itu, lanjut dia, PT BPP selama 20 tahun telah memanen tanpa ada bagian masyarakat. Ia memperkirakan, kerugian masyarakat hingga saat ini mencapai Rp150 miliar.
Lebih jauh ia menyebutkan, lahan perkebunan sawit PT BPP bermula pada 1990, ketika ninik mamak Sikabau memberikan tanah ulayat kepada negara.
Namun, pada waktu itu ada kesepakatan semua pihak, mulai dari masyarakat, perusahaan, ninik mamak, tokoh agama dan tokoh adat untuk lahan plasma bagi Kelompok Tani Bukit Intan Sikabau seluas 1.600 hektare.
Pada tahun 2000, kata dia, keluarlah Surat Keputusan Bupati Pasaman sekitar 800 hektare peruntukan plasma bagi Kelompok Bukit Intan Silabau.
Tahap pertama seluas 500 hektare telah dibangun perkebunan dan 300 hektare pada tahap kedua dibangun oleh perusahaan. Tetapi, lanjut dia, lahan seluas 300 hektare yang ditanam pada 1994 terus dikuasai perusahaan dan hasilnya dipanen hingga saat ini.
“Seharusnya yang menikmati masyarakat yang tergabung pada Kelompok Tani Bukit Intan Sikabau. Ternyata hingga saat ini tidak sama sekali, ” ujarnya.
Bahkan, kata Muslim, perusahaan membangun hutan konservasi di tengah-tengah kebun yang membuat masyarakat tidak bisa menjalankan program pemerintah untuk membuat sertifikat.
“Kami akan mempertahankan hak kami sampai kapanpun. Berbagai upaya telah dilakukan mulai ke Pemkab, DPRD, Komnas HAM dan Ombudsmen. Namun hasilnya belum ada. Yang jelas kami akan pertahankan hak kami, ” tegasnya.
Manajer PT BPP Pasaman Barat, Bobby saat dikonfirmasi mengatakan pihaknya akan patuh dan taat pada hukum yang berlaku.
“Saat ini sedang ditangani oleh pihak penegak hukum. Kita akan ikuti dan patuh, ” katanya.
Menurut dia, jika memang nanti lahan itu milik masyarakat maka akan diserahkan ke masyarakat. Namun jika lahan itu masuk HGU perusahaan diharapkan masyarakat dapat menerimanya.
Saat proses penentuan koordinat lahan 300 hektare itu, ratusan masyarakat berunjuk rasa dan ikut mendampingi pihak BPN dengan pengawalan polisi dari Polda Sumbar dan Polres Pasaman Barat serta TNI.
Pihak BPN Provinsi Sumbar saat dimintai keterangan soal konflik lahan itu tidak bersedia berkomentar dan menghindar ketika ditanya wartawan.
“Bukan wewenang kami memberikan keterangan. Silakan ke pimpinan, ” kata salah seorang petugas ukur lahan. (**)